Janji Pemimpin
Oleh : Sahrial Munthe
Dalam tradisi politik Islam,
pelantikan pemimpin tertinggi ditandai dengan prosesi bai`at. Bai`at pada
dasarnya adalah akad yang mengikat pemimpin dan rakyat untuk sama-sama
berkomitmen dengan Islam. Ini berarti baik pemerintah maupun rakyat dibebani
sederet kewajiban sekaligus menerima hak-hak yang menjadi konsekuensi bai`at
yang diikrarkan. Jadi, tidaklah tepat jika bai`at hanya diartikan janji setia
rakyat kepada pemimpin.
Dasar pengertian ini adalah ayat 58-59 surah an-Nisa’, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-[Nya], dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Itu lebih utama [bagimu] dan lebih baik akibatnya.”
Dasar pengertian ini adalah ayat 58-59 surah an-Nisa’, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-[Nya], dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Itu lebih utama [bagimu] dan lebih baik akibatnya.”
Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam
as-Siyasah asy-Syar`iyyah, ayat pertama ditujukan kepada pemerintah. Mereka
harus menjalankan amanat kekuasaan kepada rakyat dan menegakkan hukum dengan
adil. Sedangkan ayat kedua ditujukan kepada rakyat. Mereka harus taat kepada
pemerintah yang menjalankan kewajibannya tersebut dalam mendistribusikan
kekayaan negara (kebijakan ekonomi), menegakkan hukum dan lain-lain. Jika kedua
belah pihak berselisih tentang apa saja, maka mesti diselesaikan dengan merujuk
al-Qur’an dan sunnah.
Prinsip dasar ini dipahami dan
diterapkan dengan sangat baik oleh generasi awal Islam, baik pemimpin maupun
rakyat. Para pemimpin lebih memandang
kekuasaan sebagai amanat dan kewajiban, sebelum menganggapnya sebagai sarana
untuk mendapat hak yang layak diterima. Sementara bagi rakyat, keharusan taat
kepada pemerintah tidak dipandang sebagai sikap tidak berdaya dan pasrah
terhadap setiap kebijakan yang dibuatnya.
Karena itu, para pemimpin kala itu menempatkan rakyat sebagai partner yang sangat penting agar kewajibannya sebagai penguasa dapat terlaksana dengan baik. Rakyat pun diberi akses langsung untuk memberi masukan dan mengkritisi setiap kebijakan yang dibuatnya sehingga tidak hanya terbatas pada lingkaran elit ahlul hal wal `aqd, atau wakil-wakil rakyat yang saat itu disebut an-Nuqaba’ atau al-`Urafa’. Dalam pidato ‘kenegaraan’ pertamanya di Masjid Nabawi, Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai segenap manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin padahal aku bukan orang terbaik di antara kalian. Karena itu, jika pemerintahanku baik maka dukunglah. Tapi jika buruk maka maka luruskanlah. Kejujuran adalah amanah dan dusta adalah khianat.”
Pidato yang dituturkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah ini menunjukkan bahwa Khalifah sendiri yang meminta rakyatnya bersikap kritis. Sikap yang sama ditunjukkan Umar bin Khaththab saat menjadi Khalifah. Dalam ar-Riyadh an-Nadhirah, al-Muhibb ath-Thabari menuturkan bahwa suatu ketika Umar menyampaikan pidato umum, “Wahai segenap kaum muslim, apa yang akan kalian katakan jika aku menyelewengkan kekuasaan?” Tiba-tiba seorang lelaki maju sambil menghunus pedangnya seraya berkata lantang, “Pedangku ini yang berbicara!” Umar berkata, “Semoga Allah merahmatimu! Alhamdulillah, ada rakyatku yang mau meluruskanku, jika aku keliru.”
Karena itu, para pemimpin kala itu menempatkan rakyat sebagai partner yang sangat penting agar kewajibannya sebagai penguasa dapat terlaksana dengan baik. Rakyat pun diberi akses langsung untuk memberi masukan dan mengkritisi setiap kebijakan yang dibuatnya sehingga tidak hanya terbatas pada lingkaran elit ahlul hal wal `aqd, atau wakil-wakil rakyat yang saat itu disebut an-Nuqaba’ atau al-`Urafa’. Dalam pidato ‘kenegaraan’ pertamanya di Masjid Nabawi, Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai segenap manusia, aku telah diangkat sebagai pemimpin padahal aku bukan orang terbaik di antara kalian. Karena itu, jika pemerintahanku baik maka dukunglah. Tapi jika buruk maka maka luruskanlah. Kejujuran adalah amanah dan dusta adalah khianat.”
Pidato yang dituturkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah ini menunjukkan bahwa Khalifah sendiri yang meminta rakyatnya bersikap kritis. Sikap yang sama ditunjukkan Umar bin Khaththab saat menjadi Khalifah. Dalam ar-Riyadh an-Nadhirah, al-Muhibb ath-Thabari menuturkan bahwa suatu ketika Umar menyampaikan pidato umum, “Wahai segenap kaum muslim, apa yang akan kalian katakan jika aku menyelewengkan kekuasaan?” Tiba-tiba seorang lelaki maju sambil menghunus pedangnya seraya berkata lantang, “Pedangku ini yang berbicara!” Umar berkata, “Semoga Allah merahmatimu! Alhamdulillah, ada rakyatku yang mau meluruskanku, jika aku keliru.”
Kejadian seperti ini merupakan
fenomena yang sering terjadi di masa Umar. Ketegasan dan wibawa Umar tidak menghalangi
rakyat biasa sekali pun untuk mengkritisi bahkan menolak kebijakan Khalifah di
muka umum. Keputusan Umar membatasi mahar dibantah oleh seorang wanita. Setelah
mengetahui argumentasi wanita itu kuat, Umar hanya berkata, “Wanita ini benar
dan aku salah…setiap orang bisa lebih mengerti dari Umar.”
Ciri pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai amanah adalah bersikap rendah hati dan terbuka. Dia paham betul bahwa janji atau sumpah jabatan yang dinyatakannya adalah beban paling berat yang harus ditunaikan kepada rakyat. Karena janji pemimpin bukan janji biasa, sehingga jika tidak ditepati maka akibatnya pun luar biasa. Rasulullah saw bersabda, “Tiga model manusia yang pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan dibersihkan [dosanya], tidak akan dipandang oleh-Nya, dan mereka mendapat azab yang sangat pedih; orang lanjut usia yang berzina, penguasa yang berdusta, dan orang miskin yang sombong.
Ciri pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai amanah adalah bersikap rendah hati dan terbuka. Dia paham betul bahwa janji atau sumpah jabatan yang dinyatakannya adalah beban paling berat yang harus ditunaikan kepada rakyat. Karena janji pemimpin bukan janji biasa, sehingga jika tidak ditepati maka akibatnya pun luar biasa. Rasulullah saw bersabda, “Tiga model manusia yang pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak akan dibersihkan [dosanya], tidak akan dipandang oleh-Nya, dan mereka mendapat azab yang sangat pedih; orang lanjut usia yang berzina, penguasa yang berdusta, dan orang miskin yang sombong.